Minggu, 06 Mei 2012

Kakak Beradik


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.. Aku mempunyai seorang adik lelaki, dan usianya tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya.
 “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya.

Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, sehingga beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!”

Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangan Ayah dan berkata,
“Ayah, aku yang melakukannya!”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marah sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Ayah duduk di atas ranjang batu bata kami sambil memarahi adikku. “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang!!? Hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adik. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun dan aku 11 tahun.


Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malamnya, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus.

Aku mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik… hasil yang begitu baik…”

Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, “Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi. Aku sudah cukup membaca banyak buku. ”

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti aku mesti mengemis di jalanan, aku akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu, beliau kemudian mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.”

Aku telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Namun siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun dan aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas).

Suatu hari, ketika aku sedang belajar, teman sekamarku masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!"

Aku heran. “Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku?"

Aku lalu berjalan keluar dan melihat adikku dari jauh. Seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Kenapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kalau kamu itu adikku?”

Dia menjawab sambil tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku! Apa yang akan mereka pikirkan jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Apapun yang terjadi, kamu adalah adikku! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu…”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku sambil berkata, “Aku melihat semua gadis kota memakainya. Jadi aku pikir kakak juga harus memiliki satu.”

Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan terus menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. “Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!”

Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Adikmu yang melakukannya. Ia sengaja pulang lebih awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb membalut lukanya. “Apa itu sakit?” tanyaku.

“Tidak, tidak sakit. Kakak tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan di kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku, memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
 Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Berulang kali aku dan suamiku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku juga tidak setuju.

“Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini.” katanya.

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, ketika adikku memperbaiki sebuah kabel, ia mendapat sengatan listrik dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, “Kenapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, lukamu begitu serius! Kenapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar. Ia baru saja jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer dengan cara seperti itu, apa kata orang lain nanti?”

Suamiku begitu terharu mendengarnya. Lalu aku berkata, “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Kenapa kakak membicarakan masa lalu?” ia menggenggam tanganku dengan lembut.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku berusia 30 tahun ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?”

Tanpa berpikir adikku menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. . .

“Setiap hari aku dan kakakku berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakak memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak sanggup memegang sendoknya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan menjaga kakak dan terus bersikap baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Aku bingung, tidak tahu harus berkata apa.

“Dalam hidupku, orang yang paling aku kasihi adalah adikku.”

Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia itulah, di depan kerumunan perayaan itu, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

--The End--




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.